Lanjut ke konten

Mustafa Ismail

September 26, 2007

Sebelum menjadi wartawan di kelompok Tempo, Mustafa Ismail dikenal sebagai penyair, penulis cerpen, esai budaya, kritik sastra, opini sosial-budaya, dan reportase kebudayaan, pekerja teater di Teater Bola Banda Aceh, sekaligus penggiat di LSM. Ia pernah aktif di Yayasan Anak Bangsa Banda Aceh lalu menjadi Direktur Centre for Democracy and Independen Studies (CDIS Aceh).

Pada 1996 diundang oleh Dewan Kesenian Jakarta untuk menghadiri pertemuan penyair muda se-Indonesia “Mimbar Penyair Abad 21” di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta sebagai peserta dari Aceh. Ia sekaligus membaca puisi dalam forum tersebut.

Setelah acara itu selesai, ia tidak pulang lagi ke Aceh. Ia memutuskan menetap di Jakarta untuk memperkuat pengalaman menulisnya. Ia bertahan hidup dengan tetap menulis cerpen, puisi, esai budaya, resensi buku, dan opini untuk koran Jakarta dan daerah. Lalu, pada awal 1997, ia mulai bekerja sebagai penulis profil Apa & Siapa Tempo pada Pusat Data dan Analisa Tempo. Lalu, menjadi reporter Tempo Interaktif.

Ketika Majalah Tempo terbit kembali pada 1998, semua awak Tempo Interaktif pun bergabung dengan majalah Tempo. Dari situ, ia beberapa kali pindah divisi di kelompok media itu. Terakhir, sebagai Redaktur Seni Koran Tempo.

Mustafa Ismail lahir di Aceh, 25 Agustus 1971. Belum lama ini kumpulan puisinya tunggalnya “Tarian Cermin” (2007) terbit. Sejak menjadi wartawan, ia lebih banyak menulis cerpen dan puisi yang dimuat di berbagai media, seperti Kompas, Republika, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Sinar Harapan, Jawa Pos, Seputar Indonesia, dan lain-lain.

Sebagian puisi terkumpul dalam sejumlah buku antologi, antara lain, “Banda Aceh” (1993), “Lambaian” (Antologi tujuh penyair Aceh, 1993), “Telah Turun Burung-Burung ke Irian Jaya (1994), antologi Puisi “Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka” (1995), antologi sastra “Seulawah” (Jakarta, 1995), “Kebangkitan Nusantara II” (1995), “Mimbar Penyair Abad 21” (DKJ-Balai Pustaka, 1996), dan “Songket” (1996), “Dalam Beku Waktu” (2002), “Aceh Dalam Puisi” (Syaamil, 2003), “Bisikan Kata, Teriakan Kota” (DKJ-Bentang Budaya, 2003), “Mahaduka Aceh” (2005), “Ziarah Ombak” (2005), “Lagu Kelu” (2006), “Jogja 5,9 Skala Richter” (2006), “Tanah Gayo dalam Puisi” (2006).

Cerpennya ditemukan dalam antologi “Yang Dibalut Lumut” (CWI, 2003), “Kota yang Bernama dan Tak Bernama” (DKJ-Bentang Budaya, 2003) dan “Dari Zefir Sampai Puncak Fujiyama” (Desember 2004). Esainya disertakan dalam antologi sastra Aceh “Seulawah” (Jakarta, 1995) dan buku kumpulan esai “Takdir-Takdir Fansuri” (2002). Menjadi editor buku antologi puisi “Syair Tsunami” (bersama LK Ara, 2006), editor kumpulan cerpen “Bayang Bulan di Pucuk Manggrove” (2006), editor antologi sastra “Dandelion” (bersama Ahmadun Yosi Herfanda, 2007).

Dalam dua tahun terakhir, berbekal pengalaman menulis dipadu dengan pengalaman berbagai pelatihan (termasuk pelatihan sebagai pelatih) semasa aktif di LSM, ia terjun sebagai pelatih dan motivator menulis fiksi. Ia beberapa kali menjadi trainer menulis cerpen di beberapa daerah atas Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Ia juga menjadi pelatih dan motivator menulis cerpen pada beberapa komunitas menulis di Jabotabek. Karya-karya lengkap dapat dilihat di blog: http://jalansetapak.wordpress.com.

No comments yet

Tinggalkan komentar